Hujan
rintik-rintik kala itu. Tangis gerimis dari awan yang menaungi kota Depok jatuh
satu-satu. Nino buru-buru berlari menuju tempat berteduh. Sambil memeluk
tubuhnya sendiri yang mulai kedinginan, ia menengadahkan kepala agar bisa
menatap hujan dan awan mendung. Tempat berteduh tak begitu ramai, hanya ada
seorang pria berambut ikal yang membiarkan rambutnya agak basah karena terkena
hujan. Nino dan pria itu berdiri sejajar. Mereka sama-sama sibuk menatap hujan
dan sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Jalanan
di dekat jembatan Margocity-Detos mengalirkan air yang deras karena hujan. Nino
masih berteduh di sana, sesekali ia mencuri pandang ke arah pria itu, pria yang
sejak tadi juga berteduh dan juga memeluk kedinginan tubuhnya sendiri. Ia
terlalu serius sampai-sampai ia lupa telah membawa payung kecil yang diletakkan
di tasnya. Nino menertawakan dirinya sendiri, dengan senyum tipis yang hanya
dimengerti olehnya sendiri. Ia
membuka payung, memegang payung dengan erat dan siap-siap berjalan.
Wajah
pria itu disaring oleh ingatannya. Wajah itu bukan wajah yang asing.
Terlalu asik memikirkan masa lalu. Menyadari pria itu bukanlah pria yang asing,
Nino seakan tak perlu terlalu gugup. Ia juga tak ingin mengingatkan pria itu
pada masa-masa yang dulu pernah mereka lewati.
“Kamu
mau masuk ke Margocity juga?” ucap Nino dengan suara tipis.
Pria itu tak segera menjawab.
Mungkin suara Nino teredam oleh derasnya suara hujan.
Merasa
diabaikan, Nino kembali mengulang ucapannya, “Mau bareng? Aku ke Margocity
juga.”
Mata
pria berambut ikal itu membulat. Ia menoleh dan mulai membuka suara, “Boleh.”
Dan,
mereka berjalan lambat-lambat. Rapat-rapat.
“Tadi
bukannya kita berteduh bareng? Kenapa payungnya nggak segera kamu buka?”
“Aku
juga lupa kalau ternyata aku bawa payung.”
Mereka
tersenyum bersama, tak ada tawa yang begitu meledak. Alas kaki mereka sama-sama
basah. Baju mereka juga agak basah. Pria itu masih memeluk tubuhnya sendiri,
menghangatkan dadanya dengan melipat tangan di depan dada. Itulah gerakan yang
paling Nino ingat. Gerakan yang selalu pria itu lakukan beberapa tahun yang
lalu. Nino tidak akan pernah lupa. Tidak akan.
Selama
berbicara, sungguh Nino tak pernah berani menatap mata itu. Mata yang bertahun-tahun
membuatnya bertanya-tanya dalam hati. Ia tak ingin tahu warna mata itu, mata
yang sinaran dan tatapannya berusaha Nino hindari sebisa mungkin.
Langkah
mereka santai memasuki lobby Marocity, sambil melipat payung, pria itu pamit
meninggalkan Nino. Tak lupa, ia juga mengucapkan terima kasih.
Percakapan
terhenti, tak ada yang ingin memulai pembicaraan lagi. Hening mengitari mereka.
Rasanya hujan kali ini tak sedingin hujan seperti kemarin. Menderasnya hujan
tak membekukan hati Nino, kali ini ia malah merasakan ada yang bergerak
pelan-pelan di hatinya, perasaan hangat yang dulu sekian lama ia diamkan dan ia
abaikan.
Nino
menatap bahu itu. Mulai menjauh. Ia membiarkan sosok itu pergi, tanpa berbicara
lebih jauh dan lebih dalam.
Sekarang, penyesalan membuncah
dengan liar. Penyesalan yang juga dulu ia rasakan. Ingin mengejar, tapi seperti
ada rantai yang menahan langkahnya.
Sungguh, ia tak ingin penyesalan
itu terulang lagi.
Ia tidak ingin kesedihan yang
sama terjadi lagi. Tidak!
***
Nino
tak heran jika pemandangan yang ia lihat beberapa hari ini selalu sama. Setiap
pulang kuliah, ia selalu pergi ke tempat itu. Tempat ia bertemu dengan pria
berambut ikal yang mulai sering masuk ke dalam pikirannya. Nino selalu membawa
payung. Untuk berjaga-jaga, kalau-kalau pria itu muncul dan melahirkan kejutan
baru saat hujan datang. Tapi... pria itu tak pernah datang, Nino juga tak lagi
melihat sosok itu.
Seminggu
terlewati, pria itu tak kunjung memunculkan batang hidungnya. Dalam
kesabarannya, ia masih terus berharap. Ia ingin suasana seperti kemarin
terulang lagi, saat hujan datang dan Nino bisa merasakan lengan pria itu
menempel di lengannya.
“Kembalilah,
jangan buat aku menunggu untuk yang kedua kalinya.” bisik Nino perlahan.
Apakah Tuhan
mendengar bisikannya? Apakah pria itu mengetahui isi hatinya?
Hujan turun tiba-tiba, deras
sekali. Kali ini, baru kali ini, Nino lupa membawa payung. Ia menatap hujan
sambil memeluk dirinya sendiri. Ia hanya berteduh sendirian. Dalam lirihnya,
cipratan air secara sontak mengenai bajunya. Semakin kesal Nino kali ini.
Ia
jadi menyesal, mengapa ia harus menunggu seseorang yang belum tentu datang?
Nino memaki dirinya sendiri.
“Sendirian?”
Suara
yang tak asing itu terdengar mengagetkan bagi Nino. Nino menoleh cepat.
“Ngangetin ya? Kamu nggak bawa
payung?”
“Ketinggalan.”
“Aku
bawa payung, kamu mau masuk ke Margocity juga?”
Nino
mengangguk malu-malu. Pria itu, pria yang ia temui seminggu yang lalu kini
berada di depannya. Menawarkan diri untuk memayunginya.
Mereka
berjalan rapat-rapat, walaupun hujan semakin deras, dan angin semakin kencang;
rasanya segala halangan itu tak memupus harapan Nino untuk membangun
percakapan.
Kali ini ia yang harus memulai,
tak ingin lagi ia menunggu. Tak ingin lagi ia kehilangan seseorang untuk yang
kedua kalinya. Tidak!
“Bagaimana di sana?
Menyenangkan?”
“Di
sana mana?”
“Di
Boston. Sudah dapat gelar? Kok sudah pulang?”
Pria
manis bergidik, seakan ia buronan yang tertangkap basah, “Aku pulang karena
ingin menemui seseorang.”
Tatapan
Nino menyelidik, “Siapa?”
“Kamu.”
Nino
terdiam, ia tak melanjutkan langkahnya. Pandangannya lurus, mulai berani
menatap mata pria itu. Hitam kecoklatan, itulah warna bola mata yang akhirnya
Nino ketahui setelah bertahun-tahun ia tak pernah berani menatap mata itu.
Hidungnya, bibirnya, matanya, dan lekuk pipinya tak begitu berubah. Dia tetap
jadi seseorang yang cukup Nino kenal, dan paling sering ia rindukan, walaupun
Nino tak berani melakukan banyak hal selain menatap dari kejauhan dan mencoba
menyusun percakapan basa-basi. Itu dulu, ketika mereka masih bersama, ketika
perpisahan belum jadi pemeran antagonis yang memisahkan mereka.
Sontak,
Nino memeluk rapat tubuh pria itu. Pria yang menghilang selama bertahun-tahun
tanpa ucap pisah. Pria yang dari sikapnya seakan tak menganggap Nino wanita
yang spesial. Tidak akan ia lepaskan lagi. Tidak akan ia sia-siakan lagi.
“Sudah
jangan pergi lagi.”
“Ini
baru pulang, masa mau pergi lagi?”
Hujan
semakin deras, dan rengkuh peluk mereka seakan tak terlepas.
Setiap Hujan
Reviewed by khoirul anr
on
Monday, July 22, 2013
Rating: