"Cinta butuh waktu untuk bisa kita rasakan." - Vierratale
Senyumnya adalah bagian yang paling
kuhapal. Setiap hari kunikmati senyum itu sebagai salah satu pasokan energiku.
Kali ini pun tetap sama, ketika kupandangi ia yang sedang menulis sesuatu di
kertasnya. Matanya sesekali mengarah padaku, ia menyimpulkan senyum itu lagi.
Aku yang sedang menggambar sketsa
wajahnya, memerhatikan setiap lekuk pahatan tangan Tuhan. Detail wajahnya tak
kulewati seinci pun. Hidungnya yang tak terlalu mancung, pipi dan rahang yang
tegas, dan bentuk bibirnya yang mencuri perhatian siapapun saat menatap
lengkungan senyum itu. Aku penggemarnya, seseorang yang mencintainya tanpa
banyak ucap, namun dengan tindakan yang nyata.
Secara terang-terangan, aku tak
pernah bilang cinta, namun selalu kutunjukkan rasa. Entah lewat sentuhan, perhatian,
dan caraku membangun percakapan. Aku mencintainya. Terlalu mencintainya.
Sampai-sampai aku tak sadar bahwa kedekatan kita semakin tak terkendalikan,
meskipun semua singkat, tapi rasanya cinta begitu terburu-buru mengetuk pintu
hatiku.
Di sebuah taman, tempat kami biasa
bertemu, tempat kami biasa melakukan hal sederhana yang begitu kami cintai. Ia
menulis tentangku. Aku menggambar sosoknya. Setelah karya kami sama-sama
selesai, kami saling menukar hasil jemari kami.
Tulisannya yang indah dan gambarku
yang sederhana sama-sama menyumbangkan senyum di bibirku dan bibirnya. Betapa
kami sangat bahagia cukup dengan seperti. Betapa cara sederhana bisa membuat
aku dan dia merasa tak butuh apa-apa lagi, selain kebersamaan dan takut akan
rasa kehilangan.
“Kamu pernah takut dengan rasa
kehilangan?” ucapnya lirih di sela-sela gerakan jemarinya yang masih menulis
sesuatu di kertas.
“Pernah dan aku tak akan mau lagi
merasakan perasaan itu.” jawabku secepat mungkin, jemariku masih memperbaiki
gambarku yang hampir selesai. Kuperhatikan lagi bentuk wajahnya, rahang dan
jambang rambutnya yang begitu kusukai. Seandainya aku punya keberanian untuk
menyentuh wajah itu, selancang ketika aku menyentuh batang pensil saatku
menggambar.
“Kalau kausudah berusaha begitu
kuat, namun kautetap bertemu pada rasa kehilangan, apa yang akan kaulakukan?”
Kubiarkan pertanyaannya menggantung
di udara sesaat. Kuberi jeda waktu agar ia masih bertanya-tanya pada rasa
penasaran dalam hatinya. Semilir angin dan goresan pensilku di kertas lebih
terdengar jelas dalam keheningan kami berdua.
“Apa yang akan aku lakukan?” aku
mengulang pertanyaan darinya, semakin membangun rasa penasarannya yang
membesar.
Kening pria itu mengkerut ketika
pertanyaannya kuulang, “Iya, apa yang akan kaulakukan jika rasa kehilangan
tiba-tiba menyergapmu meskipun kamu sudah berusaha keras untuk menggenggam?”
Helaan napasku terdengar santai,
“Aku akan selalu bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku harus merasakan
kehilangan. Setelah aku tahu jawabannya, demi apapun, aku tak akan mengulang
kesalahanku lagi. Dan, aku akan semakin memaknai pertemuan sebagai hal yang tak
boleh disia-siakan.”
Jawabanku membuat ia semakin tajam
menatap wajahku, aku yang menunduk dan masih menggambar, jadi salah tingkah
ditatap dengan tatapan seperti itu. Ia arahkan jemarinya ke atas kepalaku dan
membelai rambutku. Aku tak tahu maksud dari sentuhan itu, entah mengapa
seketika tubuhku tak bisa memberi banyak tanggapan atas sentuhannya. Aku belum
bisa merasakan adanya cinta dalam setiap sentuhannya.
Ia kembali menulis, kuintip sedikit
ternyata kertas tempat ia menulis sudah hampir penuh. Dengan matanya yang
indah, ia kembali meminta perhatianku, “Aku merindukan dia.”
“Wanita itu lagi?” tanggapku dengan
cepat.
Ada sesuatu yang bergerak dalam
dadaku ketika ia mengucap kalimat singkat itu. Terdengar singkat memang, tapi
entah mengapa rasanya aku harus butuh waktu lama agar tak merasa sakit dengan
pernyataan yang seperti itu. Kali ini, aku merasa dianggap tak ada.
“Aku selalu bilang padamu, setiap
hari, berkali-kali, tak perlu lagi kamu merindukan seseorang yang bahkan tak
pernah menghargai perasaanmu!”
Senyumnya terlihat getir ketika aku
berbicara dengan nada tinggi.
“Apakah bagimu, ada kehilangan yang
tak menyakitkan?”
“Semua kehilangan pasti menyakitkan,
kita sebagai manusia hanya bisa mengobati setiap luka, sendirian atau bersama
seseorang yang baru. Itu semua pilihan yang kita tentukan sendiri.”
Tanpa menatap wajahku, ia kembali
mengajakku bicara, “Apakah obat pengering dari luka basah bernama kehilangan?”
Aku berhenti menggambar.
Kuketuk-ketukkan pensilku di atas kertas dan berpikir dengan serius, “Luka
pasti kering, tapi bekasnya akan selalu ada. Keikhlasan dan kepasrahanlah yang
membuat bekas luka tak lagi perih.”
“Lantas, apa lagi?”
“Membuka hati untuk seseorang yang
baru!” seruku dengan nada bersemangat, dengan senyum singkat.
“Ah, tapi bukankah semua butuh
waktu? Termasuk juga soal cinta.”
“Cinta butuh waktu untuk bisa kita
rasakan?” aku mengangguk setuju, “Tapi, sampai kapan kaubutuh waktu? Sampai
orang yang mencintaimu pada akhirnya memilih pergi, karena tak terlalu kuat
diabaikan berkali-kali?”
Aku tertawa dalam hati; menertawai
diri sendiri.
“Lihatlah, kamu melucu!” ia ikut
tertawa sambil terus melanjutkan tulisannya, “Cinta memang butuh waktu dan
waktu yang dibutuhkan cinta adalah teka-teki yang sulit diprediksi.”
“Ah, kamu ini, semua hanya soal
kesiapan hati.” bibirku meringis, mencoba menutupi hatiku yang mulai nyeri,
“Jangan pernah takut dengan orang baru yang datang ke dalam hatimu, karena ia
tak ingin banyak hal, selain membahagiakanmu.”
“Aku juga berpikir begitu, tapi aku
takut jika luka yang masih kubawa, akan menjadi luka baru di hati orang yang
mencoba masuk ke dalam hatiku.”
“Bagi orang yang ingin membahagiakanmu,
tak akan pernah ada luka, meskipun cinta yang ia tunjukkan begitu lambat
kaurasakan.”
“Tak akan pernah ada luka?” tanyanya
dengan wajah tak percaya, ia menatapku sekali lagi, dengan tatapan sangat
serius, kali ini.
“Ketika tulus mencintai seseorang,
ia melakukan banyak hal karena ia mencintaimu, bukan karena ia memikirkan apa
yang akan ia dapatkan ketika ia mencintaimu.”
“Begitu manisnya cinta....”
“Lebih manis lagi jika tak hanya
satu orang yang berjuang untuk membahagiakan, harus saling membahagiakan.”
Kalimatku membuat ia tersenyum
lebar. Ia membubuhi tanda tangan untuk mengakhiri karya tulisnya di kertas. Aku
menulis namaku dan tanggal pembuatan gambar ketika aku selesai menggoreskan
goresan terakhir.
Setelah karya tulisnya selesai dan
karya gambarku selesai. Kebiasaan itu terulang, kami saling menutup mata
sebelum dia melihat gambarku dan aku membaca tulisannya. Ketika karyanya ada di
tanganku dan karyaku ada di tangannya, kami pada akhirnya membuka mata.
Ia menikmati gambarku dengan senyum
memesona, senyum yang paling kucintai dan kukagumi. Gambarku adalah sosoknya
yang kujadikan sketsa di kertas A4. Aku tak melewatkan detail wajahnya yang
indah. Hidungnya kugambar semirip mungkin, rahangnya yang tegas juga jambangnya
yang menggemaskan, juga kugambar dengan goresan yang tegas. Ia mengucap terima
kasih. Aku bisa menebak wajahnya yang terharu ketika karya itu kuberi judul Masa Depan.
Giliran aku yang membaca karya
tulisnya. Awalnya, kukira ia menulis tentangku, tapi ternyata aku salah. Ia
menulis tentang seseorang yang bukan aku, seseorang yang hidup dalam masa lalu
dan kenangannya. Hatiku teriris membaca setiap paragraf dalam tulisannya; tak
ada aku di sana. Aku hanya membaca tentang sosok lain, sosok yang dulu ia
ceritakan dengan wajah sedih, sosok yang begitu kubenci karena menyia-nyiakan
pria yang kucintai saat ini. Karya tulis itu ia beri judul Masa Lalu.
Aku mengulum bibirku. Usahaku masih
terlalu dangkal baginya. Cinta yang kutunjukkan ternyata belum cukup menyentuh
hatinya. Ia masih terpaut pada masa lalu ketika aku sudah menganggap sosoknya
sebagai masa depan. Ia masih belum melupakan masa lalunya, ketika aku secara
perlahan-lahan berusaha menyembuhkan lukanya yang perih.
Aku belum berhasil seutuhnya.
Ah, mungkin aku masih harus terus
berjalan dan berjuang lebih dalam. Aku akan terus berjuang, sampai ia juga
menganggapku masa depan, seperti aku selalu menganggap dia sebagai bagian masa
depanku.
Cinta butuh waktu. Butuh waktu untuk
membuat ia segera melupakan masa lalunya kemudian mencintaiku. Butuh waktu
untuk membuat ia memahami, ada cinta yang lebih masuk akal untuk ia percayai.
Cinta memang butuh waktu.
*lagu Vierratale diciptakan oleh Kevin Aprilio
Cinta Butuh Waktu
Reviewed by khoirul anr
on
Monday, July 22, 2013
Rating: